Siapkan SMA dan SMK Negeri di Jateng Jadi Sekolah Inklusi
By Abdi Satria
nusakini.com-Semarang- Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyiapkan seluruh SMA, SMK dan SLB Negeri di bawah kewenangan Pemprov Jateng mengadaptasi pendidikan inklusif. Ini berkaca dari kasus perundungan siswi SMP di Purworejo, di mana korban merupakan anak berkebutuhan khusus.
Menurut Ganjar, dia mendapat masukan dari masyarakat agar seluruh sekolah di bawah kewenangan Pemprov Jateng menjadi sekolah inklusi, di mana anak-anak berkebutuhan khusus bisa belajar di sekolah umum. Selain itu juga meningkatkan kualitas SLB Negeri di Jateng.
Ganjar mengakui, banyak yang harus disiapkan untuk menuju sekolah inklusi, di antaranya menyediakan guru pendamping bagi siswa berkebutuhan khusus juga sarana dan prasarana. Butuh formula kebijakan yang benar-benar matang.
“Namun saya sedikit memaksa, sambil paralel kita menyiapkan dukungan agar sekolah bisa inklusi. Saat ini sudah mulai disiapkan, Kepala Dinas Pendidikan sudah saya perintahkan mengkaji. Kalau bisa, tahun depan sudah dimulai pemenuhan kekurangan sarana-prasarana itu,” katanya saat melantik 170 kepala sekolah SMA/SMK/SLB negeri di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Jumat (28/2).
Ganjar pun menanyai sejumlah kepala sekolah terkait rencana itu. Sebanyak 33 kepala sekolah mengaku siap menjadikan sekolahnya sebagai sekolah inklusi, sisanya mengaku belum siap.
Kepala Sekolah SMK Jateng di Semarang, Sriyono, mengaku siap menjalankan sekolah inklusi. Bahkan dua tahun terakhir, sekolahnya sudah mendidik dua siswa tunarungu.
“Menjadi sekolah inklusi memang sulit. Kami butuh pendamping yang bisa menerjemahkan secara langsung dialog guru dan siswa berkebutuhan khusus. Selama ini kami tidak ada guru pendamping yang khusus. Penerjemahnya ya teman sebaya yang membantu menerjemahkan sekaligus menjadi guru kedua untuk siswa kami yang tunarungu,” kata Sriyono.
Sementara, Kepala Sekolah SMAN 1 Watumalang Wonosobo Sri Muryanti mengakui sekolahnya belum siap menjadi inklusi. Selain karena akses menuju sekolah yang dirasa kurang memadai untuk siswa berkebutuhan khusus, terutama yang tunadaksa, sekolah ini juga belum memiliki guru pendamping untuk siswa berkebutuhan khusus.
“Kami kesulitan mengangkat GTT karena terkendala aturan dari pemerintah,” kata Sri.
Terkait masukan dari kepala sekolah, Ganjar berjanji akan berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Pendidikan agar diperbolehkan mengangkat GTT pendamping siswa berkebutuhan khusus. Sebab menurutnya, pengangkatan guru pendamping anak-anak berkebutuhan khusus adalah cara paling efektif untuk menuju inklusi.
“Kalau masalahnya tidak ada guru pendamping, sekolah silahkan angkat guru tidak tetap (GTT) yang memang ahli menangani anak berkebutuhan khusus. Soal regulasi, biar itu urusan saya,” tandas Ganjar. (p/ab)